Studi Gender Dalam Hubungan Internasional

September 2, 2021, oleh: superadmin

Studi Gender Dalam Hubungan Internasional

(Diliput Oleh: Ellandy Avant Raushan Thesa (Admin HIPM UMY))

Program Studi Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HIPM UMY) selenggarakan Webinar HIPM Lecture Series dengan judul Gender Dalam Kajian Hubungan Internasional. Kegiatan ini dilangsungkan secara Daring (Online) platform Zoom dengan Pembicara Dr. Elisabeth Adyiningtyas Satya Dewi dari Universitas Katholik Parahyangan, Bandungserta moderator Dr. Ahmad Sahide, S.IP., M.A dari Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Webinar ini diikuti oleh 29 Peserta terdiri dari cendikiawan dan mahasiswa dari seluruh Indonesia. Acara ini berlangsung pada hari Kamis (26/08/21).

Dr. Elisabeth Adyiningtyas Satya Dewi selaku pembicara menyampaikan bahwa “Gender sendiri masih sering disalahartikan, ketika kita mendengar kata-kata gender lalu kebanyakan orang masih berpikir gender itu perempuan tetapi pemahaman-pemahaman tersebut kurang tepat”. Elisabeth Adyningtyas menambahkan bahwa gender itu merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan, dibuat, disosialisasikan dan diajarkankepada laki-laki dan perempuan mengenai karteristik satu sama lain supaya dianggap wajar dalam kehidupan masyarakat. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tersebut sifatnyaberubah, bisa berubah berdasarkan waktu, bisa berubah berdasarkan tempat, bisa berubah berdasarkan ajaran, bisa berubah berdasarkan idiologi, dst.

“Berdasarkan pendidikan pada jaman dahulu, perempuan itu tidak perlu sekolah, perempuan itu dalam istilah jawa “Manak, Masak, Macak” artinya perempuan itu beranak, memasak, dan berdandan” ucap Elisabeth Adyningtyas. Dalam perkembangannya hingga saat ini di mana kita menemukan telah banyak perempuan- yang dapat menimba ilmu sampai jenjang pendidikan tinggi dan dapat mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan potensinya. Sedangkan untuk laki-laki pada jaman dahulu tidak boleh memasuki dapur karena dianggap “saru”, artinya laki-laki tidak pantas untuk didapur. Walakin, jaman sekarang sudah berbeda di mana kita bisa menyaksikan sendiri bahwa banyak master chef dari kelompok yang berjenis kelamin laki-laki. “Contoh tersebut dapat membuktikan bahwa itulah gender yang sifatnya dapat berubah-ubah tergantung tempat dan waktunya”, ujar dosen perempuan dari Unpar tersebut.

Gender dalam hubungan internasional memiliki kontruksi yaitu perbedaan laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan dan disosialisasikan di berbagai belahan Negara. Gender juga dapat masuk di berbagai sektor, baik sektor politik, sosial, budaya, hukum, dll. Diskursus gender dapat masuk dalam hubungan internasional adalah dengan melihat bahwa perempuan dan laki-laki itu berbeda, berbeda baik secara jenis kelamin dan dibedakan lagi secara gender. “Ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki ternyata sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial gender” tambahnya.

Artinya karena perempuan dikonstruksikan pasif, lemah, dan emosional. Sedangkan laki-laki dikontruksikan kuat, bijak dalam mengambil keputusan, dan logis maka dengan ini menimbulkan konstruksi yang tidak seimbang/ketimpangan. Dalam hubungan internasional pada saat ini terkait gender ini hanya dilihat dari tempatnya dimana dalam artian aktor gender dalam hubungan internasional ini adalah Negara, tetapi pada jaman sekarang tidak hanya negara yang menjadi aktor gender dalam hubungan internasional akan tetapi individu. “Dengan bergeser atau bertambahnya aktor gender dalam hubungan internasional, definisi hubungan internasional lebih luas, tujuannya tidak hanya satu, maka studi gender dalam hubungan internasional ternyata sangat dipengaruhi oleh maskulinitas dan feminitas” ucap Elisabeth Adyningtyas.

Elisabeth Adyningtyas menambahkan bahwa isu gender dalam hubungan internasional menjadi isu yang saling setara, saling melengkapi, setara tidak harus sama, berbeda tetapi satu sama lain saling melengkapidan yang menjadi patokannya adalah Beijing Platform Action (BPA). Sehingga gender, seturut Elisabeth, bisa menjadi category of analysis dan variable dengan artian dapat digunakan untuk penyelidikan-penyelidikan yang sifatnya critical, berdasarkan fenomena-fenomena yang ada, kita bisa memakai gender sebagai faktor yang menjelaskan untuk memahami sebuah fenomena.