HIPM Selenggarakan Seminar Bedah Buku tentang HAM di Indonesia

March 15, 2024, oleh: superadmin

Masa Orde Baru merupakan sejarah kelam bagi masyarakat Indonesia. Era tersebut merupakan periode yang diwarnai oleh tindakan kekerasan yang meluas dan sistematis terhadap oposisi politik dan kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap mengancam rezim yang berkuasa. Selama pemerintahan Presiden Soeharto, militer dan polisi memiliki peran penting dalam menindas segala bentuk perlawanan terhadap pemerintah dengan menggunakan strategi penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan penghilangan paksa. Kekerasan tersebut memperkuat kendali pemerintah atas masyarakat, namun mengabaikan keadilan bagi korban-korban kekerasan dalam peristiwa tersebut.

Meskipun telah berlalu beberapa dekade sejak berakhirnya Orde Baru, warisan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di masa tersebut masih mempengaruhi politik dan budaya Indonesia hingga saat ini. Upaya-upaya rekonsiliasi dan pengakuan terhadap kebenaran mengenai peristiwa tersebut terus berlanjut, sementara para keluarga masih menunggu keadilan bagi anggota keluarganya yang menjadi korban kebrutalan rezim Soeharto. Peristiwa tersebut diungkap secara komprehensif dalam buku terbaru karya Elizabeth Frances Drexler yang berjudul “Infrastructures of Impunity: New Order Violence in Indonesia.” Dalam buku tersebut, Elizabeth mengeksplorasi upaya otoriter pemerintahan Presiden Soeharto dalam membangun dan mempertahankan sistem kontrol, represi, dan impunitas untuk membungkam perbedaan pendapat dan mempertahankan kekuasaan.

Sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia semakin menarik untuk didiskusikan dari sudut pandang Elizabeth. Oleh karena itu, Program Studi Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HIPM UMY) selenggarakan seminar Bedah  Buku “Infrastructures of Impunity: New Order Violence in Indonesia” pada Kamis, 7 Maret 2024. Acara bedah buku ini menghadirkan tiga pembicara yaitu Elizabeth Frances Drexler,  Associate Professor Department of Anthropology in Michigan State University, Prof. Ali Muhammad, Ph.D., Dosen HIPM UMY, dan Ahmad Shalahuddin M dari Social Movement Institute. Diskusi ini dihadiri 70 peserta dari berbagai institusi.

Dalam paparannya, Elizabeth menyatakan penelitiannya hanya berfokus pada masa orde baru di Indonesia. Lebih lanjut ia memaparkan bahwa pada tahun 1965 merupakan awal kekerasan yang mengakibatkan persoalan impunitas. Terdapat banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto karena berbagai kebijakannya pada saat itu lebih menguntungkan negara lain dan merugikan Indonesia, serta kebijakan lainnya yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Hal tersebut yang kemudian memicu aksi protes dari banyak kalangan, termasuk para aktivis dan mahasiswa. Pemerintah orde baru yang dikenal dengan sistemnya yang otoriter pada akhirnya menindaklanjut dengan tegas para oposisi dengan berbagai tindakan pelanggaran HAM seperti peristiwa Petrus atau Penembakan Misterius.

Elizabeth menjelaskan bahwa sejak reformasi sudah terdapat berbagai upaya dan mekanisme untuk menyelesaikan konflik orde baru seperti pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc dan Komisi Nasional HAM. Dalam mekanismenya, Komnas HAM harus melakukan penyelidikan untuk menentukan pelanggaran HAM yang terjadi selama masa orde baru. Selain itu juga dibutuhkan mekanisme untuk tuntutan tindak pidana pelanggaran HAM yang sudah melewati batas waktu atas persetujuan Parlemen untuk membuka kembali kasus tersebut. Dari banyaknya kasus pelanggaran HAM, Dewan Perwakilan Rakyat hanya merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM di era pemerintahan Presiden SBY atas kasus hilangnya aktivis tahun 1997. Namun faktanya, pengadilan HAM tidak pernah direalisasikan untuk penyelesaian kasus tersebut. Dalam sejarahnya, pengadilan HAM berhasil dibentuk hanya untuk penyelesaian kasus Tanjung Priok dan Timor Leste karena terdapat tekanan internasional. Dari kasus tersebut dapat terlihat bahwa “impunitas” sangat mengakar kuat di Indonesia.

Menurut Elizabeth terdapat beberapa unsur yang mengakibatkan impunitas sangat sulit untuk dihilangkan. Unsur pertama yang merupakan inti dari infrastruktur impunitas adalah narasi sejarah yang kuat dan menciptakan kekuatan emosi ketakutan seperti film G30S/PKI, Monumen Pancasila, dan cerita mengenai lubang buaya. Unsur kedua adalah birokrasi yang mengidentifikasi, mengisolasi, menstigmatisasi dan membatasi hak-hak warga negara tertentu berdasarkan kekuatan afektif narasi tentang masa lalu. Unsur ketiga yaitu dari dimensi hukum dengan berbagai proses yang sangat rumit karena melibatkan unsur politik dan keberpihakkan dengan aktor yang lebih berkuasa. Di akhir paparannya, Elizabeth berharap agar generasi muda memanfaatkan karya seni untuk mengurangi efek stigmatisasi di masyarakat dan terus mengupayakan keadilan bagi masyarakat yang terdampak melalui aksi “Kamisan.”

Hadir sebagai pembahas kedua, Prof. Ali menyebutkan bahwa buku karya Elizabeth terbit di waktu yang tepat pasca agenda pemilihan presiden. Prof. Ali menyatakan bahwa konteks besar buku Elizabeth membahas mengenai upaya penegakkan keadilan dalam konteks politik Indonesia pasca era Orde Baru. Dalam paparannya, ia merujuk pada halaman 200 yang beruliskan “Hari Kelam Bagi HAM.” Bagi Prof. Ali, buku ini sangat tepat menunjukkan bahwa Bangsa Indonesia, khususnya bagi generasi muda, memiliki tugas berat untuk memikirkan penyelesaian isu pelanggaran HAM yang sudah berlangsung sangat lama. Dewasa ini memperlihatkan bahwa pemahaman isu-isu HAM mulai pudar bagi generasi muda dan digantikan dengan fenomena joget-joget gemoy. Padahal, penegakkan hukum, demokrasi, dan penguatan HAM merupakan isu yang sangat penting untuk dikaji bagi generasi muda saat ini untuk memperjuangkan keadilan atas pelanggaran HAM di masa lalu.

Lebih lanjut, Prof Ali menyinggung forum “Kamisan” yang berkaitan erat dengan peristiwa pemilihan presiden saat ini yang selalu mengangkat isu pelanggaran HAM masa lalu. Ia menyatakan bahwa narasi “forum lima tahunan” yang dibangun oleh segelintir oknum setiap agenda pemilu bertolak belakang dengan aksi “Kamisan” yang justru merupakan forum mingguan untuk menyuarakan keadilan bagi banyaknya korban pelanggaran HAM di era Orde Baru. Prof. Ali berpesan pada seluruh generasi muda untuk memikirkan dan memperjuangkan keadilan, bukan hanya sekedar untuk kepentingan saat ini saja, namun juga agar pelanggaran HAM tidak terjadi di masa depan.

Ahmad Shalahuddin, sebagai pembicara ketiga, mengungkapkan bahwa meskipun buku Elizabeth ditulis menggunakan bahasa Inggris namun secara garis besar buku tersebut masih nyaman untuk dibaca oleh kalangan umum. Bagi Ahmad, buku karya Elizabeth dapat memperkaya literatur mengenai kekerasaan pada zaman Orde Baru, yang berisi narasi sejarah yang sangat tajam dengan berbagai data yang cukup kuat. Dalam paparannya, Ahmad mengakui bahwa terdapat satu topik yang sangat menarik perhatiannya yaitu mengenai aksi “Kamisan” yang disebut Elizabeth sebagai benang merah.

Lebih lanjut Ahmad menyampaikan bahwa buku ini merekam dengan baik sejarah aksi “Kamisan” yang merupakan kelompok jaringan solidaritas korban untuk keadilan. Aksi “Kamisan” lebih memiliki nuansa yang performatif dalam hal seni dan visual di Jakarta. Buku ini sangat menarik karena Elizabeth tidak hanya memotret apa yang terlihat namun juga mengungkapkan produksi wacananya dari aspek kesenian dan kebudayaan. Selain itu, suara generasi muda dan para korban dalam aksi “Kamisan” juga direkam dengan runtut dan baik oleh Elizabeth di buku ini. Ahmad juga menggarisbawahi kalimat Elizabeth dalam bukunya yaitu:

“Kamisan menciptakan ruang yang penting untuk menghadapi impunitas dan melibatkan kaum muda. Aksi Kamisan menunjukkan perannya yang temporal dalam impunitas. Kamisan merupakan ruang untuk berdemonstrasi secara mingguan untuk menantang kekuasaan negara yang menghindari pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM di masa lalu. Kamisan menjadi sebuah ruang untuk saling bertukar emosi antara masyarakat biasa, generasi muda dengan para korban melalui solidaritas yang diikat kuat dengan ikatan kemanusiaan.”

Singkatnya dapat dipahami bahwa aksi “Kamisan” merupakan bentuk intergenerational transmission yang menyalurkan perlawanan dan kritik yang terus dioper dari generasi tua ke generasi muda saat ini.

Acara bedah buku Infrastructures of Impunity: New Order Violence in Indonesia mendapatkan antusiasme yang sangat baik dari para peserta. Hal ini dapat terlihat dari pertanyaan-pertanyaan kritis dari peserta yang sangat antusias membahas fenomena pelanggaran HAM yang sedang hangat diperbincangkan di tahun 2024. Dengan hadirnya buku Elizabeth serta terlaksananya acara bedah buku ini, semoga dapat menumbuhkan kesadaran bagi generasi muda untuk terus memperjuangkan keadilan dan memperkuat HAM di tengah fenomena lunturnya pemahaman isu-isu strategis saat ini.