Pagar dan Tembok dalam Diplomasi (Review Buku)

April 20, 2020, oleh: superadmin

Dalam buku Pagar-Pagar Tembok Diplomatika yang di tulis oleh Tulus Warsito terdapat sejumlah paradoks diplomatika dalam dinamika hubungan internasional yang katanya sedang memasuki era masyarakat 5.0 yang sebenarnya tidak lagi begitu peduli dengan batas-batas fisik hingga beberapa negara melebur jadi satu. Di lain sisi, justru terdapat beberana negara yang dengan gencarnya membangun tembok-tembok perbatasan dengan sejumlah alasan. Buku ini disusun untuk dapat memahami lebih lanjut mengapa tembok-tembok pagar terus dibangun, sementara tembok-tembok yang lain diruntuhkan atau ditetapkan sebagai contoh buruk.
Terlepas dari faktor eksternal dari pembenaran alasan suatu negara membangun tembok-tembok perbatasan, kebanyakan dari pembangunan tembok-tembok perbatasan merupakan hasil dari politik internal negara yang membangunnya. Terdapat tiga alasan khusus suatu negara dalam membangun tembok perbatasan yaitu membangun kedaulatan atas tanah yang tidak dikuasai atau tidak terurus, melindungi kekayaan negara dan populasi, dan melindungi praktik budaya di dalam negara dari kemungkinan pengaruh sistem nilai lain yang dimiliki oleh imigran. Pembangunan tembok penghalang di perbatasan secara bersamaan melegitimasi dan mengintensifkan praktek-praktek eksklusif internal negara berdaulat. Dengan mendemonstrasikan kontrol kedaulatan, suatu negara secara bersamaan mengembalikan otoritas atas wilayah itu dan mendefinisikan batas-batas masyarakat yang termasuk di dalamnya.
Motif utama dari pembangunan tembok perbatasan yang dilakukan zaman dahulu di suatu negara adalah untuk mempertahankan negara dan kota dari pasukan tetangga nomaden. Kendala fisik yang besar juga berfungsi sebagai sinyal kekuatan politik, kekayaan, dan kekuatan yang dimaksudkan untuk mencegah ancaman di masa depan, klaim atas tanah, dan cara untuk menentukan siapa yang menjadi bagian dari dalam dan siapa yang bertahan. Skala tembok perbatasan juga mengalami perubahan seiring berkembangnya zaman, mulai dari tembok sederhana antar kota menjadi banteng besar antar kerajaan. Salah satu contoh tembok sederhana yang dibangun pada abad 83-260 M adalah pembangunan beberapa tembok yang dilakukan oleh Kekaisaran Romawi. Tembok tersebut dibangun dengan berbagai struktur dinding dan parit yang terbuat dari rumput dan batu, yang dikenal sebagai limau.
Sedangkan pembangunan tembok kontemporer terjadi antara akhir abad pertengahan dan awal abad ke-20 ditandai dengan menurunnya kekasaran di Eropa. Steven Pinker mengaitkan tren tersebut dengan penyebaran kekuatan otoritas terpusat dengan monopoli pada legitimasi kekerasan, adopsi hukum dan ketertiban, kemajuan diplomasi, pengembangan kemitraan perdagangan, kemajuan dalam transportasi, peningkatan literasi, meningkatnya harapan hidup, adopsi nilai-nilai toleransi dan hak asasi manusia, keengganan terhadap kekerasan dan kekejaman. Sehingga, sebagian besar negara-negara Barat mengadopsi paspor dan visa. Dokumen perjalanan, kartu tanda pengenal, dan sensus merupakan bentuk awal dari pengawasan negara terhadap warga negaranya. Dengan adanya batasan kebebasan orang bergerak, negara secara efisien melakukan penegakan hukum, mencegah potensi pemberontakan anti-pemerintah, menargetkan operasi keamanan nasional, mendistribusikan insentif dan hukuman, mencegah pengeringan otak, mengelola klaim atas aset, mengawasi pertumbuhan dan komposisi populasi. Sebenarnya, pembangunan tembok perbatasan kuno dan pembangunan tembok kontemporer memiliki satu tujuan yang sama, yaitu melindungi kedaulatan negara dari ancaman luar, baik ancaman keamanan, ekonomi maupun kebudayaan.
Dalam bukunya, Tulus Warsito menjelaskan mengenai beberapa tembok-tembok perbatasan. Pertama, Tembok Besar China yang terbuat dari batu, batu bata, tanah liat, kayu dan bahan lainnya. Secara garis besar, Tembok Besar China dibangun di sepanjang garis timur ke barat melintasi perbatasan utara Tiongkok yang bersejarah untuk melindungi negara-negara dan Kerajaan China dalam melawan serangan dan invasi dari berbagai kelompok nomaden dari wilayah utara.
Selain untuk kepentingan pertahanan, tujuan lain dari pembangunan tembok ini adalah untuk mengawasi perbatasan yang memungkinkan pengenaan bea atas barang-barang yang diangkut di sepanjang Jalur Sutra, mengatur dan mengembangkan perdagangan serta kontrol imigrasi dan emigrasi. Sebelumnya, pembangunan Tembok Besar China tidak menggunakan batu bata sampai akhirnya di masa Pemerintahan Ming, batu bata banyak digunakan di banyak area dinding. Ukuran dan berat batu bata membuat mereka lebih mudah bekerja daripada tanah dan batu. Sehingga, karakteristik Tembok Besar China semakin kokoh dan juga mengalami peningkatan dengan pembangunan menara pengawas, pasukan barak, stasiun garnisun, kemampuan sinyal melalui sarana asap maupun api yang diletakkan di atas puncak bukit atau titik tinggi lainnya di Tembok Besar China. Hal tersebut ditingkatkan karena dirasa penting untuk adanya komunikasi antar tentara ketika memanggil bala bantuan ketika adanya gerakan musuh. Selain itu, gerbang kayu di Tembok Besar China juga dapat dijadikan jebakan terhadap musuh yang melewatinya. Saat ini, Tembok Besar China merupakan salah satu prestasi arsitektur paling mengesankan dalam sejarah.
Tembok kedua yang dibahas dalam buku ini adalah Tembok Meksiko. Tembok Rintangan Meksiko-Amerika Serikar terdiri dari serangkaian dinding dan pagar di sepanjang perbatasan Meksiko-Amerika Serikat. Pembangunan tembok rintangan ini bertujuan untuk mencegah penyeberangan ilegal dari Meksiko ke Amerika Serikat. Tembok penghalang tersebut berupa pengelompokan dinding fisik yang diamankan dengan “pagar virtual” yang mencakup sistem sensor dan kamera yang dipantau oleh Patroli Perbatasan Amerika Serikat. Tembok ini juga dibangun untuk mengurangi kejahatan-kejahatan yang lebih besar, seperti penggunaan obat-obatan illegal yang diproduksi di Amerika Latin dan Imigrasi, Operasi Gatekeeper di California, Operation Hold-the-Line di Texas dan Operation Safeguard di Arizona. Dari tahun ke tahun, Tembok Rintangan Meksiko-Amerika Serikat mengalami peningkatan pembangunan untuk semakin melindungi masing-masing negara akan tetapi dengan adanya peningkatan tersebut justru memicu jumlah orang yang mencoba melintasi daerah secara illegal semakin tinggi. Peningkatan pembangunan Tembok Rintangan yang kontroversial terjadi di era Pemerintahan Trump, di mana Trump menyerukan pembangunan tembok yang jauh lebih besar dan lebih kokoh dan mengklaim Meksiko akan membayar pembangunannya yang ditaksir mencapai USD $ 12 miliar. Angka tersebut juga kemudian akan dapat bertambah menjadi USD $ 15 miliar hingga USD $ 25 miliar.
Tembok Berlin merupakan tembok ke tiga yang dibahas dalam buku ini. Tembok Berlin yang dibangun oleh Republik Demokratik Jerman (GDR, Jerman Timur) merupakan sebuah bangunan pagar perintang tembok yang dijaga secara fisik dan ideologis di Berlin. Tembok ini dibangun sejak 13 Agustus 1961 yang pembangunannya diselesaikan pada tahun 1989. Otoritas Jerman Timur secara resmi menyebut Tembok Berlin sebagai Anti-Facist Protection Rampart. Sedagkan pemerintah kota Berlin Barat menyebutnya sebagai Wall of Shame, sebuah istilah yang diciptakan Willy Brandt merujuk pada pembatasan Wall pada kebebasan bergerak. Berbeda dengan China yang memilih untuk tetap mempertahankan sebagian temboknya untuk kepentingan pariwista, Tembok Berlin justru dibongkar. Pembongkarannya secara resmi dilakukan pada 13 Juni 1990 dan selesai pada tahun 1992. Jatuhnya Tembok menandai langkah kritis pertama menuju reunifikasi Jerman, yang secara resmi berakhir hanya 339 hari kemudian pada 3 Oktober 1990 dengan pembubaran Jerman Timur dan reunifikasi resmi negara Jerman di sepanjang garis demokratis Hukum Dasar Jerman Barat. Pada akhirnya, kebebasan tidak terkalahkan dan tidak ada Tembok yang dapat menahan secara permanen keinginan untuk kebebasan.
Tembok yang terakhir adalah Tembok Israel. Tembok Tepi Barat Israel terletak di sepanjang Garis Hijau. Tembok ini dibangun hampir mengelilingi beberapa kota Palestina. Israel menganggap Tembok tersebut sebagai penghalang keamanan terhadap aksi terorisme, sementara Palestina menganggap Tembok tersebut sebagai pemisahan rasial. Selain itu, Palestina juga mengklaim bahwa berupaya untuk menggunakan tanah Palestina dengan kedok keamanan dan telah merusak negosiasi perdamaian dengan secara sepihak membangun perbatasan baru. Aksi Israel tersebut kemudian mendapatkan kecaman dari dunia internasional. Pengadilan Internasional berpendapat yang menyatakan bahwa perbatasan tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional. Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menyatakan bahwa tembok itu bertentangan dengan hukum internasional dan harus dihapus.
Secara keseluruhan, pembahasan yang terdapat di buku ini cukup menarik. Dalam menjelaskan tembok-tembok perbatasan, penulis membagi tiap satu bahasan tembok ke dalam satu bab sehingga memudahkan para pembaca untuk fokus kedalam satu topik bahasan. Buku ini juga dilengkapi data-data yang dapat menambah keakuratan informasi. Selain itu, Penulis juga menyelipkan contoh-contoh tembok dalam bentuk gambar. Akan tetapi, sangat disayangkan contoh tembok dalam bentuk gambar tersebut di cetak dengan menggunakan warna hitam putih yang mungkin bisa lebih menarik dicetak dengan berwarna.
 
Data Buku
Judul                           : Pagar-Pagar Tembok Diplomatika
Penulis                         : Tulus Warsito
Penerbit                       : Ombak
Tahun Terbit                : 2019
Jumlah Halaman          : 195 halaman
 
Direview oleh Diana Mutiara Bahari (Mahasiswa Hubungan Internasional Program Magister/HIPM UMY)