IR TALK #2: Humanitarian Crisis and Reconstruction of Middle East

November 18, 2023, oleh: superadmin

Di tengah gemuruh sejarah dan dinamika geopolitik yang kompleks, kawasan Timur Tengah telah menjadi panggung tragis bagi krisis kemanusiaan yang mendalam. Konflik bersenjata dan ketegangan politik mengakibatkan kondisi sulit yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan Masyarakat. Sejak beberapa dekade terakhir, kawasan yang kaya akan hasil minyak bumi ini telah menjadi sorotan dunia karena ketidakstabilan politik, perpindahan massal penduduk, dan kebutuhan mendesak untuk rekonstruksi. Krisis kemanusiaan di Timur Tengah tidak hanya mencerminkan tantangan internal bagi negara-negara di dalamnya, tetapi juga memicu tanggapan internasional yang mencoba merestorasi kedamaian dan memberikan bantuan bagi mereka yang terdampak.

Eskalasi konflik Timur Tengah yang seakan tidak pernah ada habisnya mendorong Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (HIPM UMY) bersama dengan KORPS HIPM selenggarakan forum diskusi pada Sabtu, 28 Oktober 2023. Forum diskusi IR Talk #2 kali ini menghadirkan narasumber mahasiswa HIPM, Audi Izzat Muttaqien, S.Sos, yang fokus penelitiannya di kawasan Timur Tengah. Dalam paparannya, Audi berfokus pada fenomena Arab Spring yang terjadi di Irak, Yaman, dan Suriah.

Arab Spring merupakan istilah politik yang menggambarkan serangkaian pemberontakan pro-demokrasi yang terjadi di beberapa negara di kawasan Timur Tengah, seperti di Irak, Yaman dan Suriah. Gerakan pemberontakan ini merupakan bentuk ekspresi kebencian terhadap kediktatoran pemerintah, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan ketidaksetaraan ekonomi. Oleh karena itu, kelompok ini menuntut adanya transisi dalam sistem pemerintahan, yang semula dibawah rezim otoriter menuju sistem demokrasi yang stabil di seluruh wilayah. Jutaan orang yang mendukung Arab Spring percaya pada kebebasan berekspresi dan pemerintahan yang demokratis. Meskipun beberapa negara berhasil mendirikan kepemimpinan demokratis, namun aksi pemberontakan tersebut justru berujung pada konflik bersenjata di beberapa negara lain, termasuk perang saudara di Irak, Yaman, dan Suriah.

Fenoemena Arab Spring di Irak dipicu oleh ketidakpuasan terhadap korupsi pemerintah, kesenjangan ekonomi dan banyaknya campur tangan negara lain. Aksi demonstrasi di Irak sebagian besar didorong oleh kalangan muda, yang mencari peluang ekonomi yang lebih baik dan mengakhiri korupsi yang merajalela yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam aksinya, masyarakat menuntut pengunduran diri pemerintah dan perombangan sistem politik. Menanggapi hal tersebut, Pemerintah Irak, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Adel Abdul-Mahdi, berjuang untuk secara efektif memenuhi tuntutan para pengunjuk rasa. Akhirnya pada November 2019, Abdul Mahdi mengundurkan diri dari jabatannya sebagao tanggapan atas tekanan masyarakat yang semakin meningkat. Namun, langkah tersebut tidak serta merta meredam protes, karena para demonstran terus menyerukan reformasi politik dan diakhirinya pengaruh asing. Buntut dari aksi protes tersebut mengakibatkan ketidakstabilan kondisi politik di Irak.

Gerakan revolusioner Arab Spring juga meluas hingga Yaman, sebuah negara yang telah lama diwarnai ketidakstabilan politik dan ketegangan sosial. Pada tahun 2011, demonstrasi massal terjadi di berbagai kota di Yaman. Aksi tersebut dipicu oleh keinginan rakyat untuk melihat perubahan dalam kepemimpinan yang telah berkuasa selama bertahun-tahun. Unjuk rasa ini, yang awalnya terfokus pada tuntutan politik dan ekonomi, dengan cepat berkembang menjadi perlawanan yang lebih besar terhadap Presiden Ali Abdullah Saleh, yang berkuasa selama hampir tiga dekade di Yaman. Transisi kekuasaan yang rumit dan meningkatnya ketegangan etnis pada akhirnya menjerumuskan Yaman ke dalam konflik bersenjata.

Di Suriah, kelompok remaja menggambar slogan anti pemerintahan di kota Daara. Slogan tersebut berisi ajakan untuk menggulingkan rezim Bashar Al-Assad. Menanggapi hal tersebut, pemerintah Suriah bersikap brutal terhadap para demonstran yang menimbulkan kecaman dari pemimpin Internasional dan Lembaga Hak Asasi Manusia. Aksi protes yang terjadi untuk menggulingkan rezim Bashar Al-Assad berkembang cepat menjadi perang saudara yang telah menelantarkan lebih dari setengah dari semua warga Suriah, menewaskan jutaan orang, dan merusak infrastruktur negara. Arab Spring di Suriah menjadi simbol ketegangan antara aspirasi rakyat yang mendukung demokrasi dan otoritarianisme rezim. Konflik ini telah menciptakan bencana kemanusiaan yang melibatkan jutaan pengungsi.

Arab Spring di Irak, Yaman, dan Suriah menciptakan ketidakstabilan politik yang mendalam dan berdampak pada keamanan serta kesejahteraan Masyarakat. Di Irak, proses politik pasca Arab Spring terhambat oleh ketidakstabilan keamanan, semtara di Yaman dan Suriah, konflik bersenjata menciptakan situasi kemanusiaan yang menghancurkan.

Lantas, bagaimana masa depan Timur Tengah? Menurut Audi, tidak akan terjadi perubahan secara signifikan di kawasan tersebut. Hal ini dapat ditunjukkan dari adanya konflik berkepenjangan antara Israel dan Palestina hingga saat ini. Meskipun hingga saat ini bantuan yang telah diterima Palestina mencapai USD 50 juta, namun hal tersebut dinilai masih tidak cukup merata. “Usaha tidak akan mengkhianati hasil. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Kunci penting dalam melakukan sebuah usaha agar hasil yang didapatkan maksimal adalah dengan mawas diri” papar Audi.