Webinar “Fenomena Kotak Kosong dan Kemunduran Kualitas Demokrasi di Indonesia”

November 7, 2020, oleh: superadmin

Yogyakarta – Program Studi Hubungan Internasional Program Magister Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sukses melaksanakan kegiatan Webinar Series pada hari Rabu, 4 November 2020. Dr. Ahmad Sahide, S.IP., M.A. Sekprodi Hubungan Internasional Program Magister UMY pada saat memandu jalannya kegiatan Webinar Series hari Rabu (04/11) mengatakan “Alhamdulillah kegiatan webinar kali ini dapat berjalan dengan lancar, dan kita dapat mengetahui bagaimana latar belakang adanya fenomena kotak kosong yang marak terjadi di Indonesia pada saat momentum pemilihan kepala daerah di tahun 2020 ini,” ujar saat memberi pengantar dalam sesi webinar tersebut.

Ahmad Sahide menambahkan kegiatan webinar series ini dapat memperluas ilmu kita baik tentang tema yang hari ini terkait membaca fenomena kotak kosong dalam berdemokrasi di Indonesia maupun tema-tema yang akan datang. Kegiatan Webinar Series kali ini diisi oleh 3 pembicara yaitu Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., LL.M (Dosen Hukum Tata Negara UGM), Dr. Adi Suryadi Culla, M.A. (Dosen FISIP Universitas Hasanuddin), dan Dr. Surwandono, S.Sos., M.Si. (Kaprodi HIPM UMY) yang dimana sebagai pemandu atau moderator kegiatan ini yaitu Dr. Ahmad Sahide, S.IP., M.A. (Sekprodi HIPM UMY).

Dalam kegiatan webinar series ini secara garis besar membahas terkait membaca apa yang melatar belakangi fenomena kotak kosong yang sering terjadi pada saat adanya hajatan demokrasi atau pemilihan umum di Negara Indonesia, apakah faktor dari Partai atau dari background dari Calon/Kandidat ataupun dari keadaan geografis di Daerah itu sendiri.

Sesi pertama kegiatan ini dimulai dengan pemaparan dari Dr. Adi Suryadi Culla, M.A. yang berpendapat bahwa rakyat itu seperti pecah di dalamnya karena cuman ada satu kandidat dan kandidat itu tidak mampu maupun tidak memiliki kekuatan dukungan secara elektorat yang dominan jadinya proses pemilihan itu sangat kuat dari desakan yang muncul dari masyarakat bawah atau mungkin saja juga dengan adanya polarisasi yang terjadi pemilih yang golput atau yang belum bisa memutuskan atau massa yang masih mengambang, kemudian masyarakat memilih kolom yang kosong karena kandidat belum dapat meyakinkan publik atau mungkin saja dari pendukung kandidat sebelumnya yang tereliminasi.

Dr. Adi Suryadi Culla menambahkan bahkan dalam konteks prosedural sekalipun karena di atas kertas suara itu yang dilihat hanya kandidat/calon dan kotak kosong itu dapat menyebabkan pilihan publik menjadi terbatas, artinya rasionalisasi politik masyarakat terbatas karena calon hanya satu. Oleh karena itu, fenomenan merupakan bentuk dari kemerosotan demokrasi. Lebih lanjut, dosen senior Prodi Hubungan Internasional Unhas in mengatakan bahwa memang regulasi memberi ruang atau legalisasi atau formatnya secara absah, tetapi bahwa nilai derajat demokrasi menurut saya masih sangat rendah. “Jadi ini memang ada beberapa penyebab, tetapi yang utama sebab dari kegagalan Parpol di dalam kaderisasi mestinya dalam rekrutmen kandidat/calon untuk berkontesasi di hajatan demokrasi sudah ada format yang jelas bahkan sebenarnya harus ada penekanan dari segi regulasi yang dapat meminimalisir calon tunggal.” Ia juga melihat bahwatTren partai politik yang pragmantis itu juga dampak dari proses dimana komitmen basis ideologi partai yang lemah, sehingga di dalam mengusung calon pemilihan kandidat itu sebagai peluang untuk memenangkan. Selanjutnya, ia menyarankan, harus ada batasan dukungan untuk persyaratan partai politik, agar dapat mencegah suatu partai politik itu memborong atau mendominasi suara partai politik sehingga dapat munculnya calon/kandidat lain

 

Pembicara kedua adalah Dr. Zaenal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. Beliau adalah pakar hokum tata negara UGM. Pembicara kedua ini berpendapat bahwa dalam fenomena calon tunggal ini tergantung dari seberapa lebar analisis kita. Seturutnya, secara konstitusional Mahkamah Konstitusi sudah mengatur maupun mengiyakan adanya calon tunggal melawan kotak kosong di kontestasi pilkada. Kemudian secara administrasi diatur lebih lanjut oleh KPU mengenai teknis-teknis, seperti teknis debat kandidat yang menurutnya membosankan karena terkesannya seperti orasi dan lain sebagainya. Zaenal menambahkan bahwa tidak ada proses kandidasi yang berjalan dengan sangat baik di tubuh partai politik. Ia juga melihat parpol mengalami kejumudan.

Narasumber yang ketiga dari webinar ini adalah Dr. Surwandono, S.Sos., M.Si. Pembicara ketiga di sini berbicara mengenai data fenomena kotak kosong yang terjadi di Indonesia dan juga mencoba membandingkannya di beberapa negara di dunia, seperti di Amerika. Surwandono berpendapat bahwa fenomena kotak kosong itu merupakan sebuah bukti kepincangan dari sistem pemilu. Jika kita coba bandingkan di tahun 2017 ada 101 kabupaten/kota yang melaksanakan pilkada di mana terdapat 9 kabupaten/kota yang calon kandidatnya hanya tunggal. Kemudian di Pilkada tahun 2020 ini, dari 270 kabupaten/kota ada 25 kabupaten/kota yang calon kandidatnya juga hanya kandidat tunggal melawan kotak kosong. Fenomena kotak kosong ini rata-rata di dominasi dengan adanya calon dari petahana yang sangat kuat. Surwandono menambahkan mengenai fenomena kotak kosong ini apakah hanya terjadi di Indonesia atau sudah menjadi fenomena di Dunia. Setelah dilacak, fenomena kotak kosong juga terjadi di Amerika Serikat fokusnya di pemilihan tingkat pendidikan. Dengan adanya fenomena kotak kosong ini bisa dilihat sebagai bukti bahwa demokrasi menghadirkan kekecewaan bagi masyarakat.

Dari kegiatan webinar yang dilaksanakan berdurasi 2 jam ini terkait fenomena kotak kosong yang terjadi dalam berdemokrasi di Indonesia ini dapat memberikan pandangan baru dan mencerahkan kita semua. bahwa kalau demokrasinya kita sehat maka lahir pemimpin yang baik dan akan berdampak terhadap kehidupan kita semua. Dan mungkin bisa menjadi awal untuk dilakukan pembenahan teknis di pilkada berikutnya.