“Memotret Perkembangan Demokrasi Indonesia”

August 18, 2023, oleh: superadmin

Hubungan Internasional Program Magister bersama dengan KORPS HIPM menyelenggarakan diskusi publik dengan tema “Memotret Perkembangan Demokrasi Indonesia” pada hari Senin, 24 Juli 2023 yang bertempat di Ruang Sidang Direktur Lt.1 Gedung Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Sebelum acara dimulai, seluruh peserta yang hadir menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Sang Surya dari Muhammadiyah kemudian dilanjutkan dengan pengenalan pemateri beserta moderator oleh ketua Korps HIPM.

Diskusi publik ini menghadirkan tiga orang narasumber, yaitu Eko Prasetyo, S.H. selaku Founder Social Movement Institute, Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M selaku Pakar Hukum Tata Negara UGM, beserta Dr. Ahmad Sahide, S.IP., M.A selaku Ketua Prodi Hubungan Internasional Program Magister UMY dengan moderator dari Alumni Hubungan Internasional Program Magister UMY yaitu Andi Subhan Husain, LL.B., M.H.I.

Pada diskusi publik ini yang mengangkat perkembangan demokrasi di Indonesia, dimulai dengan pertanyaan Andi Subhan Husain, LL.B., M.H.I sebagai moderator yaitu “Mengkaji atau memotret bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia, pemimpin seperti apakah yang kita harapkan untuk Indonesia kedepannya ?”

Eko Prasetyo, S.H. menuturkan bahwa, berbicara mengenai situasi demokrasi di Indonesia yang kian memburuk, salah satunya adalah pemilihan umum dimana suara pemilih resmi terbanyak mencapai 50% dari pulau Jawa yang artinya siapa yang menguasai pulau Jawa, maka dia akan memenangkan pemilihan umum tersebut. Selain itu, problem demokrasi yang terjadi di Indonesia, diantaranya adalah dominannya institusi demokrasi ketimbang budaya demokrasi, “Institusi kita bangun sedemikian rupa tapi kita tidak membangun budaya demokrasi. Budaya demokrasi harusnya memberikan ruang kebebasan berpendapat, memberikan ruang adanya oposisi namun kenyataannya hampir terdegradasi.” Hal ini pun tidak terlepas dari faktor elite politik yang mendapatkan impunitas sehingga benih-benih dinasti politik masih terjadi dan duduk di bangku parlemen hingga saat ini. Adapun lembaga survey yang kurang transparansi, akibatnya kita tidak mendapatkan berita yang objektif sehingga politik berada dalam suasana mengambang.

Acara kemudian dilanjutkan dengan pemateri berikutnya yaitu Dr. Ahmad Sahide, S.IP., M.A. Beliau menuturkan bahwa,“Kita tidak mungkin menolak demokrasi, namun bagaimana cara kita mengkoordinasikan demokrasi tersebut kearah yang menurut kita lebih baik. Demokrasi merupakan cara kita untuk mengatur (controlling) penguasa/pemimpin.” Beliau mengatakan perkembangan demokrasi Indonesia mengalami kemunduran yang disebabkan salah satunya adalah mulai hilangnya freedom of expression, hingga hak untuk memilih dan dipilih menjadi semu. Sebenarnya kita dapat menjadikan media sebagai alternatif sehingga pemimpin tidak dapat memonopoli gerakan media, namun ketika pemilik media membuat partai politik sendiri yang kemudian secara tidak langsung merusak citra demokrasi, maka kita tidak dapat berharap mendapat berita objektif, sehingga framing yang dibuat oleh media menjadi tendensius. Beliau juga memperlihatkan indeks perkembangan demokrasi global, posisi Indonesia berada di score 6 dari 10 pada tahun 2022. Perkembangan demokrasi Indonesia mulai tampak turun sejak tahun 2016 yang kala itu dirumuskannya UU ITE yang dianggap dapat menjadi pasal karet. Beliau juga mengatakan, warisan demokrasi diharapkan meninggalkan instrumen demokrasi yang dapat digunakan untuk keberlanjutan jangka panjang.

Pemateri selanjutnya adalah Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M, beliau mengatakan alasan demokrasi masih dipertahankan karena berangkat dari asumsi demokrasi adalah “baik”. Permasalahan demokrasi di Indonesia terletak pada distorsi informasi dan data. Contohnya, waktu kita menolak perubahan UU KPK, pertarungan di media sosial itu seimbang, namun ternyata yang mendukung perubahan UU KPK kebanyakan adalah robot sedangkan yang menolak perubahan UU KPK adalah dari akun asli. Selain itu, penegakan hukum didomestikasi, bukan untuk kepentingan hukum namun untuk kepentingan penguasa, belum lagi terkait pembuatan Undang-Undang yang mana tidak adanya partisipasi oposisi dari masyarakat sipil. Undang-Undang menjadi sakral karena Undang-Undang mutlak dalam negara sedangkan partisipasi menjadi tidak penting karena keinginan penguasa dapat terhambat. Terdapat beberapa ciri matinya demokrasi, diantaranya yaitu ketika aturan main dengan mudahnya diubah serta matinya partai politik sebagai oposisi yang dapat by design maupun by accident.

Setelah penyampaian sesi materi, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dari peserta acara FGD yang hadir dan acara ditutup dengan closing statement dari pemateri : “Logika kritis tetap harus sambung menyambung. Varian demokrasi dapat dicoba tetapi tidak mengindahkan nilai dasarnya. Penting dalam melakukan konsolidasi di demokrasi, bukan tentang siapa yang start duluan namun prosesnya lebih dipentingkan.”