Membaca The Arab Spring

June 2, 2020, oleh: superadmin

Secara garis besar apa yang disebut sebagai Arab Spring adalah istilah barat untuk menyebut konidisi dimana negara-negara Arab memulai transisi dimana yang awalnya adalah negara dengan ssstem monarki menuju sistem demokrasi. Buku  Dr. Ahmad Sahide, dosen Hubungan Internasional Program Magister (HIPM) menyebutkan bahwa hal yang sangat mendasar yang mendasari terjadinya Arab Spring ini adalah kondisi masyarakat negara-negara Arab dan Timur Tengah yang menuntut kehidupan yang demokratis sejak tahun 1990-an yang mana hal tersebut secara tidak langsung menjadi bola salju bagi pemerintah negara-negara tersebut.
Di sisi lain terdapat pula keinginan perubahan atau restrukturisasi pemerintahan yang lebih mengarah kepada hak asasi manusia (HAM). Bersamaaan dengan kedua proses tersebut berlangsung pula perlawanan-perlawanan terhadap rezim otoriter yang terjadi di Tunisia dimana terdapat perlawanan terhadap Ben Ali yang mana akhirnya dari kasus di Tunisia ini Arab Spring dimulai. Sementara itu terjadi juga di Mesir dimana Mursi dari kelompok ikhwanul muslimin menang  pada pemilihan presiden Juli 2012. Dari beberapa fenomena penting yang ada dari kondisi masyarakat yang ada, Arab Spring yang terjadi pada tahun 2011 merupakan tonggak awal dimana masyarakat negara-negara Arab beralih menuju masyarakat yang jauh lebih demokratis.
Meskipun begitu secara di sisi yang lain demokratisasi pada masyarakat Arab ini sendiri mengalami tantangan yang berat juga karena secara prinsip sistim demokrasi merupakan sistim yang lahir dan berkembang di barat. Dinamika terkait praktik demokrasi yang ada di negara-negara arab dikhawatirkan berlangsung tidak maksimal dikarenakan masih terdapat unsur-unsur kecurangan atau praktik-praktik otoritarian di kalangan pemimpin-pemimpin negara-negara arab. Akan tetapi di sisi lain banyak scholar yang secara optimis berpendapat bahwa sebenarnya justru dengan adanya penetrasi demokrasi, atau setidaknya praktik demokrasi yang sudah mulai berkembang dari bawah. Ditambah dengan adanya kultur Islam pada masyarakat Arab membuat praktik demokrasi mampu berintegrasi dengan politik, artinya ketika terjadi demokratisasi pada ranah politik akan membuat masyarakat yang selama ini hanya sebagai objek politik dan sebagai masyarakat muslim yang sering dijadikan objek, maka dengan adanya demokratisasi ini mampu berintegrasi dengan pemerintahan.
Pada aspek lain perkembangan demokrasi ini juga mengalami tantangan dari luar dimana negara-negara Arab juga memiliki urusan luar negeri yang itu berkaitan dengan bagaiamana hegemoni negara-negara super power untuk menguasai, atau setidaknya ikut campur dengan apa yang terjadi di negara-negara arab.
Landasan teori yang digunakan pada buku ini adalah teori demokrasi menurut Robert A. Dahl, Jack Snyder, dan Georg Sorensen untuk melihat demokratisasi yang terjadi di beberapa negara Arab, yakni Tunisia, Mesir, dan Suriah. Dahl mengenalkan istilah fondasi demokrasi dan keterlibatan pihak asing dalam demokratisasi. Sementara itu, Snyder menggagas beberapa istilah, yakni negara berdemokrasi matang, negara yang menuju demokrasi, dan demokratisasi dan konflik nasional. Kemudian Georg Sorensen mengenalkan model dalam transisi dan konsolidasi demokrasi.
Awal mula pemicu atau pelatuk dari peristiwa The Arab Spring ini sendiri berawal ketika Mohamed Bouazizi yang mana dia adalah seorang lulusan dari sebuah universitas, lalu dia mendapat perlakuan yang sangat buruk oleh aparatur negara, dimana dia yang seorang lulusan universitas harus menjalani hidup sebagai pedagang kaki lima dan dirazia oleh apparat. Dari kejadian tersebut Bouazizi melakukan protes dan unjuk rasa hingga pada akhirnya dia melakukan aksi bakar diri. Dari aksi tersebut memicu tumbuhnya massa sehingga terjadi demonstrasi besar-besaran di Tunisia dan membuat gerakan rakyat atau people power yang massif dan simultan di Tunisia, dengan salah faktor penting yang mendukung situasi tersebut dapat secara massif dan simultan terjadi adalah dengan adanya media sosial.
Pada akhirnya Ben Ali sebagai Presiden Tunisia mundur dengan dua faktor yang melatarbelakangi keputusannya untuk mundur. Pertama, gerakan masa di seluruh negeri semakin kuat dan tidak mampu lagi dikendalikan, ditambah dengan tuntutan demonstran atas meninggalnya beberapa demonstran akibat dari tindakan represif apparat. Kedua, Barat tidak lagi memberikan dukungan ketika Ben Ali mengalami krisis, artinya tidak ada lagi bantuan bagi Ben Ali terkait nasibnya yang mencari suaka politik bahkan Amerika Serikat justru mendukung demonstran untuk proses demokratisasi tersebut.
Keberhasilan rakyat Tunisia tersebut memicu efek domino dimana Mesir juga akhirnya mengalami hal yang sama. Kesamaan antara demonstrasi yang terjadi di Mesir dan Tunisia adalah pada faktor pemicunya dimana di Tunisia kondisi chaos yang terjadi di dukung dengan factor media sosial yang begitu massif, demikian juga di Mesir dimana pemicu utama gerakan demonstrasi rakyatnya juga digerakkan oleh media sosial. Begitu juga setelahnya di Suriah dimana rezim Basar Al-Ashad juga tumbang oleh rakyatnya yang terpelatuk oleh gelombang yang terjadi di Tunisia dan Mesir yang mana keduanya sama-sama melalui media sosial.
Dari fenomena yang ada faktor yang melatarbelakangi kondisi tersebut adalah krisis legitimasi dan otoritarianisme yang terjadi di negara-negara Arab. Menurut Hudson krisis tersebut terjadi karena negara-negara arab memiliki system pemerintahan yang berlandaskan pada beberapa bentuk otoritas tradisonal. Pertama, otoritas patriarki dimana kepemimpinan negara-negara arab berlangsung dari garis keturunan atau kekeluargaan dari kaum laki-laki. Kedua tradisi konsultatif dimana otoritarian yang terjadi ditaati secarar buta oleh jajaran pemerintahan dan rakyatnya. Ketiga, faktor agama, menurut Hudson agama yang menjadi doktrin utama mempengaruhi kuat sekali untuk keberlangsungan otoritarian tersebut. Keempat factor kepemimpinan feodal.
Dari bentuk kepemimpinan yang ada dan keinginan revolusi raknyatnya, mengantarkan Tunisia, Mesir dan Suriah pada tantangan reofrmasi politik. Menurut James Piscatori modernisasi telah menciptakan kondisi-kondisi sosial baru yang mendukung pluralisme dan partisipasi politik, dimana dinamika internasional juga memberikan tekanan untuk lahirnya tatanan politik baru. Sedangkan menurut Dietrich Jung, wacana global perihal demokrasi dan HAM mempunyai dampak yang besar terhadap semua rezim di kawasn Timur Tengah, dan juga adanya sokongan baik dari actor internal maupun eksternal (internasional). Hal tersebut juga didukung oleh Robert Dahl dimana tatanan politik yang demokratis tidak bisa lepas dari factor luar.
Tantangan yang lahir dari kondisi tresebut untuk mereformasi system politik menurut John L. Esposito adalah mentransfer reformulasi dan kekuasaan segelintir elit kepada institusi atau masyarakat islam. Pendapat Esposito ini hamper sama dengan apa yang dikatakan oleh Abraham F. Lowenthal dan Sergio Bitar. Menurut Lowenthal dan Bitar, terdapat perbedaan antara menggulingkan rezim yang diktatoral dan membangun pemerintahan yang demokratis.
Dari beberapa faktor yang disebutkan pada paragraph ke 9, terdapat  factor lain yang menjadi tantangan dalam perkembangan transformasi system politik di negara-negara arab yaitu kecurigaan terhadap inisiatif demokratisasi. Dimana terdapat pandangan bahwa demokratisasi ini merupakan proyek politik yang dibawa AS. Kecurigaan tersbut hadir sebagai salah satu bentuk hasil dari penerapan politik luar negeri yang standar ganda yang diterapkan oleh AS kepada negara-negara timur tengah.
Pada BAB V yang berjudul Intervensi dan pengaruh asing dalam gejolak politik The Arab Spring menjelaskan tentang bagaimana posisi negara-negara arab pada peta geopolitik dunia yang begitu penting mengingat letak negara-negara timur tengah yang strategis dan juga penghasil minyak dunia yang begitu besar. Salah satu bentuk dari intervensi tersebut adalah bagaimana negara-negara barat sebagaimana yang diungkapkan oleh Edward Said memberikan bantuan luar negeri kepada negara-negara timur tengah dengan secara terselubung memiliki agenda-agenda politik terhadap negara-negara timur tengah. Disisi yang lebih kongkrit, dimana Amerika Serikat sebagai negara adidaya dengan kepentingan nasionalnya terhadap sekutunya di timur tengah yaitu Mesir dan Arab Saudi. Tentu dengan juga posisi Rusia kepada Iran dan seterusnya.
Salah satu solusi atau bentuk model demokrasi yang cukup relevan untuk diterapkan di Timur Tengah adalah demokrasi Indonesia. Secara prinsip Indonesia dan negara-negara timur tengah memiliki masyarakat muslim yang besar. Namun yang terjadi di Indonesia adalah demokrasi mampu berkolaborasi dengan masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena banyak organisasi-organisasi Islam yang mengakomodir masyarakat, yang nantinya mampu menjadi tempat dan saling berkontribusi untuk perkembangan Islam dan demokrasi di Indonesia. Kondisi tersebut yang secara prinsip juga dapat direplikasi oleh negara-negara timur tengah untuk pengembangan demokratisasi yang ada.
Terdapat empath hal penting yang menjadi kunci bagi demokratisasi di negara-negaara Arab. Pertama persatuan nasional, dimana masyarkat bersatu bersama-sama membangun iklim demokrasi tersebut. Kedua, fase persiapan, ketika rezim otoriter sudah tidak berkuasas sehingga memiliki suatu skema lain yang harus dijunjung. Ketiga, fase pengambilan keputusan untuk membangun tatanan yang demokratis. Keempat, fase konsolidasi dimana pembangunan demokrasi yang lebih lanjut menjadi budaya politik dan bernegara.
Dari fase-fase tersebut, ketiga negara baik Tunisia, Mesir, maupun Suriah memiliki prosesnya masing-masing. Ketiga negara memilki levelnya masing-masing terhadap demokrasi. Namun hal yang tidak bisa dilepaskan dari ketiganya adalah demokrasi tidak bisa lepas dari pengaruh dan intervensi asing. Hal yang menjadi kunci ketika transisi demokrasi adalah bagaimana kekuatan besar seperti AS memberikan pengaruh terhadap dinamika geopolitik yang ada.
Diresensi oleh Akbar Averros Sabil (Mahasiswa Hubungan Internasional Program Magister)